Selasa, 22 Februari 2011

makalah korupsi

Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia *)

Sebagai bukti tekad dan maksud yang sangat kuat dari pembentuk undang-undang dalam usaha memberantas korupsi ialah telah dimasukannya ketentuan tentang peran serta masyarakat dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. Peran serta ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa (1) dengan diberikannya hak dan kewajiban masyarakat dalam usaha penanggulangan korupsi dipandang sebagai hal positif dalam upaya pencegahan dan pengungkapan kasus-kasus korupsi yang terjadi dan (2) persoalan penanggulangan korupsi dipandang bukan semata-mata menjadi urusan pemerintah atau penegak hukum, melainkan merupakan persoalan semua rakyat dan urusan bangsa. Setiap orang harus berparsitipasi dan berperan aktif dalam usaha mennaggulangi kejahatan yang menggerogoti negara ini.[1]
Pandangan pembentuk undang-undang itu tertuanhg dalam rumusan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa; masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawabmdalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Bentuk peran serta tersebut, dalam Pasal 41 ayat (2) telah ditentukan wujudnya, yaitu sebagai berikut;
1. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
2. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
3. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
4. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
5. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Adapun yang dimaksud dengan hak memberikan informasi ialah hak untuk menyampaikan segala macam informasi mengenai dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi yang salah satu bentuknya ialah “pelaporan” yang disampaikan kepada penegak hukum atau komisi pemberantasan tindak pidana korupsi. Penegak hukum yang dimaksud disini ialah kepolisian dan kejaksaan. Pelapor yang dimaksud dalam pengertian Undang-undang ini tidak sama dengan pengertian pelapor yang dimaksud oleh Pasal 1 butir 24 KUHAP. Pelapor dalam hal ini khusus pada adanya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi, sedangkan menurut KUHAP, pelapor adalah orang yang memberikan informasi untuk semua jenis tindak pidana.
Adapun mengenai tata cara peslaksanaan peran serta masyarakat dalam bentuk pelaporan dalam mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000. Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaa telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran serta pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi mengenai tindak pidana korupsi”.
Selanjutnya Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa”setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berhak mendapatkan perlindungan hukum, baik mengenai status maupun rasa aman”. Dengan demikian dapat diketahui bahwa warga masyarakat yang menyampaiakn informasi berhak mandapatkan perlindungan hukum dari nesgara malalui lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk hal itu. Adapun bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pelapor tindak pidana korupsi yang dimaksud, dapat berupa (1) perlindungan hukum mengenai status hukum dan (2) perlindungan hukum mengenai rasa aman.
Mengenai status hukum diterangkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan "status hukum" adalah status seseorang pada waktu menyampaikan suatu informasi, saran, atau pendapat kepada penegak hukum atau Komisi dijamin tetap, misalnya status sebagai pelapor tidak diubah menjadi sebagai tersangka”.
Pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari strategi pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan langkah yang jitu memiliki tingkat keberhasilan di negara-negara lain. Masyarakat dan aparat penegak hukum merupakan ujung tombak yang keberadaannya saling melengkapi satu sama lain. Masyarakat yang berdaya atau berperan dapat mengontrol, bahkan jika proses penegakan hukum lemah dam tidak dapat menghadapi kejahatan ini (korupsi), maka masyarakat dapat tampil ke depan untuk sementara mengambil alih tugas-tugas aparat penegak hukum, syaratnya masyarakat harus diberi ruang dan kesempatan luas untuk berpartisipasi melalui sistem dan tatanan yang demokratis dan transparan.
Semua pilar-pilar yang terkait dengan upaya dan proses penegakan hukum harus menopang dan memperkuat sehingga korupsi dapat ditekan ketitik yang dapat dikendalikan. Dengan demikian proses penegakan hukum merupakan rangkaian panjang dan saling terkait antar aspek yang saling mempengaruhi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pemerintah jangan sampai kehilangan dukungan dari masyarakat akibat ketidakseriusannya memberantas tindak pidana korupsi. Dengan alasan apapun pemerintah tidak boleh mengulur waktu untuk memberantas tindak pidana korupsi kelas kakap. Apabila pemerintah takut berhadapan dengan koruptor kelas kakap dan hanya mengadili atau memproses koruptor kelas teri, maka resikonya adalah kehilangan kepercayaan masyarakat dan menumbuhkan rasa ketidakpercayaan kepada pemerintah bahkan masyarakat akan berpikir bahwa pemerintah melindungi para koruptor kelas kakap.
Untuk melakukan sesuatu kita harus mengetahui terlebih dahulu apa sebab dan jenisnya. Begitu juga untuk memberantas tindak pidana korupsi, kita harus memahami dan mengerti apa saja jenis-jenis korupsi dan penyebabnya. Korupsi dapat berakibat sangat besar baik secara ekonomi, politik, maupun sosial budaya dan hukum. Masyarakat banyak tidak menyadari bahwa perbuatan korupsi berakibat sangat buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi masyarakat jarang dapat langsung merasakannya. Masyarakat hanya berasumsi yang dirugikan oleh perbuatan korupsi adalah keuangan dan perekonomian negara, pada hal secara tidak langsung yang dirugikan adalah masyarakat itu sendiri.
Di bawah ini ada beberapa contoh dampak dari akibat yang ditimbulkan dari permasalahan korupsi, yaitu ditinjau dari dampak ekonomi, dampak politik, dampak pelayanan publik, dampak hukum dan dampak sosial budaya.
1. Dampak Ekonomi
Dampak dari sektor ekonomi dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :
a. Bantuan pendanaan untuk petani, usaha kecil, maupun koperasi tidak pernah sampai ketangan masyarakat, yang artinya korupsi menghambat pembangunan ekonomi rakyat;
b. Harga barang menjadi mahal;
c. Sebagian besar uang hanya berputar pada segelintir orang elit ekonomi dan elit politik saja;
d. Rendahnya upah buruh;
e. Produk petani Indonesia tidak dapat bersaing;
f. Korupsi membuat utang bangsa Indonesia menjadi banyak; dan
g. Korupsi mengurangi minat para investor untuk menginvestasikan uangnya atau modalnya di Indonesia.

2. Dampak Politik
Politik yang seharusnya sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahtaraan rakyat dan sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi, malah dibuat sebagai sarana untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab tanpa memikirkan masyarakat kecil. Dampak dari perbuatan korupsi di dalam sektor ini, yaitu :
a. Korupsi menjadi sumber utama untuk membiayai aktifitas politik dan mempertahankan kekuasaan;
b. Hampir sebagian besar posisi elit politik dipegang oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yang disebabkan karena pemilihan untuk memilih para elit politik tersebut tidak demokratis;
c. Korupsi yang sistemik membuat masyarakat tidak lagi mempercayai penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif;
d. Sistem politik yang dipegang oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab mengancam keabsahan pemerintah dan pada akhirnya berdampak pada produk hukum yang dibuat yang dianggap ilegal oleh masyarakat;
e. Lembaga negara yang dibentuk hasil politik akan tidak berjalan sebagaimana mestinya jika dipegang oleh orang-orang yang korup dan tidak bertanggungjawab; dan
f. Korupsi dapat menghancurkan integritas bangsa.

3. Dampak Pelayanan Publik
Akibat perbuatan para pejabat yang tidak bertanggungjawab dapat berakibat pada pelayanan publik yang kurang memihak pada masyarakat kecil. Dalam hal ini dampak dari perbuatan korupsi pada pelayanan publik, yaitu :
a. Pelayanan publik buruk, karena birokrasi tidak berorientasi pada pelayanan masyarakat kecil;
b. Semangat profesionalisme pegawai yang bersih dan jujur makin luntur; dan
c. Berubahnya fungsi-fungsi pelayanan publik.

4. Dampak Hukum
Hukum sebagai pilar untuk menekan laju pertumbuhan tindak pidana korupsi, malah dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mendapatkan uang yang banyak atau dengan kata lain hukum dijadikan sebagai salah satu sarang dari perbuatan korupsi. Dampak-dampak dari perbuatan korupsi dibidang hukum, yaitu :
a. Banyak para aparat penegak hukum yang tidak bersih dikarenakan pada awalnya meraka melakukan pelanggaran hukum;
b. Hukum dijual belikan oleh aparat penegak hukum itu sendiri, sehingga putusan yang dihasilkan menjadi tidak adil; dan
c. Menjadikan rakyat tidak percaya lagi pada mekanisme hukum yang dikarenakan mental para aparat penegak hukum sengat rendah.

5. Dampak Sosial Budaya
Perubahan lain dari perbuatan korupsi adalah perubahan paradikma atau cara pandang masyarakat itu sendiri, baik masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional, yang dulunya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang jujur dan ternyata sekarang semua itu berubah menjadi salah satu bangsa yang terkorup di dunia. Dampak-dampak dari korupsi dibidang ini adalah :
a. Korupsi yang bersifat sistematis menyebabkan masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek-aspek profesionalisme dan kejujuran;
b. Runtuhnya bangunan moral bangsa; dan
c. Perbuatan korupsi yang berkepanjangan akan menghilangkan harapan masa depan yang lebih baik.m Kemiskinan sebagai produk korupsi yang menimbulkan depresi masyarakat yang berkepanjangan.
Peran serta masyarakat jelas sangat dibutuhkan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Masyarakat yang memiliki informasi dan sadar mengenai hak-haknya dan berusaha menegakkan hukum untuk memperjuangkan hak-haknya tersebut. Sedangkan masyarakat yang apatis dan bersikap menyerah pada penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah merupakan lahan yang subur bagi koruptor untuk menjalankan atau melakukan perbuatan korupsi.
Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diwujudkan dalam bentuk antara lain mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi dan hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi yang memberikan hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, maka dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai hak dan tanggung jawab masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, kebebasan menggunakan hak tersebut haruslah disertai dengan tanggungjawab untuk mengemukakan fakta dan kejadian yang sebenarnya dengan menaati dan menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum serta hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Masyarakat berhak menyampaikan keluhan, saran, atau kritik tentang upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dianggap tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengalaman dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa keluhan, saran, atau kritik masyarakat
tersebut sering tidak ditanggapi dengan baik dan benar oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam rangka mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, pejabat yang berwenang atau Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi diwajibkan untuk memberikan jawaban atau keterangan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Kewajiban tersebut diimbangi pula dengan kesempatan pejabat yang berwenang atau Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi menggunakan hak jawab berupa bantahan terhadap informasi yang tidak benar dari masyarakat.
BAB I
&nb sp; &nb sp; Pendahuluan

Sering kita dengar istilah “korupsi”, namun apakah kita benar - benar paham akan pengertian yang sebenarnya, begitu juga apakah kita tahu alasan apa yang membuat orang – orang terlibat korupsi, serta apa dampak yang ditimbulkan oleh korupsi itu………?? Kita perlu tahu, kita perlu paham, dan kita perlu mengerti, karena terutama di negara kita sendiri. Indonesia, sering sekali kita dengar di media – media komunikasi yang memberitakan tentang tindakan korupsi. Kita mengenal bahwa dampak dari korupsi itu sangat merugikan.

Definisi KORUPSI

Asal kata Korupsi

Korupsi berawal dari bahasa latin ”corruption” atau “corruptus”. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi.
(Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi).

Arti kata Korupsi

1. Korup : busuk; palsu; suap
(Kamus Bahasa Indonesia, 1991)
2. buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi
(Kamus Hukum, 2002)
3. Korupsi : kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian
(The Lexicon Webster Dictionary, 1978)
4. penyuapan; pemalsuan
(Kamus Bahasa Indonesia, 1991)
5. penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain
(Kamus Hukum, 2002)
Diambil dari buku KPK ‘Mengenali dan Memberantas Korupsi’

Alasan mengapa orang melakukan tindakan KORUPSI


Baru-baru ini media massa mengekspose kembali berita korupsi yang tentang tertangkapnya seorang Markus ( Makelar Kasus ) di Departemen Perpajakan, Yakni, seorang PNS dengan hanya Gol. III/A, bisa menggelapkan dana Negara dengan jumlah Milyaran. Kasus terakhir ini adalah sebuah noktah dari rentetan kejadian yang beberapa kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dapat diungkap oleh lembaga penegak hukum. Dari beberapa kasus tersebut ada hal yang dapat kita cermati terutama kasus yang terkait dengan beberapa anggota wakil rakyat. Seperti kita ketahui bahwa para anggota wakil rakyat tersebut sering dikritisi oleh elemen masyarakat karena fasilitas negara yang disediakan untuk mereka baik berupa gaji, tunjangan dan segala kenikmatan lainnya sudah tergolong bagus dan mengundang perasaan iri dari masyarakat pada umumnya. Dari kasus terakhir ini mungkin dapat mematahkan persepsi masyarakat pada umumnya bahwa penyebab utama perilaku korupsi adalah karena penghasilan yang rendah dan tidak memadai. Namun ternyata dengan penghasilan dan fasilitas yang baguspun masih mendorong orang untuk melakukan KKN. Jadi hal apa yang melandasi orang melakukan tindakan korupsi ?
Pada dasarnya motif /alasan yang mendorong seseorang melakukan tindakan korupsi ada dua penyebab yaitu dorongan kebutuhan (need driven) dan dorongan kerakusan (greed driven). Memang sama2 korupsi namun ternyata latar belakang orang melakukan perilaku tercela itu memang berlainan. Sebenarnya perilaku korupsi ini telah mengakar di elemen masyarakat luas, tidak hanya terjadi di institusi baik pemerintah ataupun swasta baik dilakukan oleh aparatur pemerintah ataupun pegawai swasta.
Praktek korupsi berkembang pada situasi dimana job security tinggi dengan tingkat profesionalitas yang rendah sehingga para pegawai tersebut sering menyalah gunakan kewenangannya untuk memenuhi keinginannya daripada pelaksanaan tugas yang seharusnya dia laksanakan. Namun kalau ditelaah sebenarnya penyebab timbulnya perilaku korup disebabkan adanya beberapa faktor, yaitu :
1. Perilaku yang bersumber budaya masyarakat.
2. Jenjang diskresi yang dimiliki.
3. Tiadanya transparansi/keterbukaan.
4. Ketiadaan akuntabilitas.
5. Ketiadaan lembaga pengawas.



BAB II
Dampak Korupsi

Dampak Korupsi

Sesungguhnya korupsi memiliki beberapa dampak yang sangat membahayakan kondisi perekonomian sebuah bangsa. Dampak-dampak tersebut antara lain:

1. Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
- Menurut Chetwynd et al (2003), korupsi akan menghambat pertumbuhan investasi. Baik investasi domestik maupun asing. Mereka mencontohkan fakta business failure di Bulgaria yang mencapai angka 25 persen.
Maksudnya, 1 dari 4 perusahaan di negara tersebut mengalami kegagalan dalam melakukan ekspansi bisnis dan investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa. Selanjutnya, terungkap pula dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang dari 5 persen GDP dunia setiap tahunnya hilang akibat korupsi. Sedangkan Uni Afrika menyatakan bahwa benua tersebut kehilangan 25 persen GDP-nya setiap tahun juga akibat korupsi.
- Menurut Mauro (2002),
Setelah melakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan bahwa kenaikan 2 poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala 0-10) akan mendorong peningkatan investasi lebih dari 4 persen. Sedangkan Podobnik et al (2008) menyimpulkan bahwa pada setiap kenaikan 1 poin IPK, GDP per kapita akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen setelah melakukan kajian empirik terhadap perekonomian dunia tahun 1999-2004.
- Menurut Gupta et al (1998),
Menyatakan fakta bahwa penurunan skor IPK sebesar 0,78 akan mengurangi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin sebesar 7,8 persen. Ini menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.


2. Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan.
Pada institusi pemerintahan yang memiliki angka korupsi rendah, layanan publik cenderung lebih baik dan lebih murah. Terkait dengan hal tersebut, Gupta, Davoodi, dan Tiongson (2000) menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan memperburuk layanan kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, angka putus sekolah dan kematian bayi mengalami peningkatan.
3. Sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan IPK sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin akan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya aliran dana dari masyarakat umum kepada para elit, atau dari kelompok miskin kepada kelompok kaya akibat korupsi.
4. Korupsi berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.
Baik individual maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain meningkatkan ketamakan dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan korupsi juga akan menyebabkan hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama.
Rasa saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang. Akibatnya, muncul fenomena distrust society, yaitu masyarakat yang kehilangan rasa percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap institusi negara. Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak aman (insecurity feeling). Inilah yang dalam bahasa Al-Quran dikatakan sebagai libaasul khauf (pakaian ketakutan).
Terkait dengan hal tersebut, Uslaner ( 2002 ) menemukan fakta bahwa negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat ketidakpercayaan dan kriminalitas yang tinggi pula. Ada korelasi yang kuat di antara ketiganya.


BAB III
Penutup

Kesimpulan

Sudah sangat jelas diketahui bahwa dimanapun berada istilah korupsi sudah sangat dikenal di Negara – negara manapun, dan kita tahu bahwa dampak tindakan korupsi sangat menyengsarakan, khususnya bagi kita sendiri, Bangsa Indonesia. Sebagai putra – putri Bangsa Indonesia apakah kita tidak sedih, melihat saudara kita yang taraf ekonomi kebawah ( miskin) yang harus tinggal di lingkungan yang tidak selayaknya, dan bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sulit, begitu sangat terlihat dampak korupsi dari kesenjangan Ekonomi. Jelaslah, korupsi memeberi dampak yang buruk bagi kita semua.
Sebagai generasi penerus Bangsa Indonesia, niatkan dalam hati untuk merubah bangsa kita ini menjadi bangsa yang jauh lebih baik, katakan : “TIDAK PADA KORUPSI!!”


Dampak Korupsi Bagi Rakyat Miskin
Juli 13, 2008 oleh pakarpangan
Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan masyarakat miskin di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan pendapatan negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut ; harga-harga kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi ; biaya pendidikan semakin mahal, dan pengangguran bertambah.
Tanpa disadari, masyarakat miskin telah menyetor 2 kali kepada para koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada negara lewat pajak dan retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi puskesmas. Namun oleh negara hak mereka tidak diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin” tersebut telah dikuras untuk kepentingan pejabat. Kedua, upaya menaikkan pendapatan negara melalui kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali “menyetor” negara untuk kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi rakyat miskin. Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk mengembalikan uang rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya, malah menambah beban rakyat miskin.
Realitas kemiskinan yang menimpa perempuan, selama ini tidak pernah menjadi perhatian para pejabat kita yang korup. Kesejahteraan perempuan masih diabaikan, padahal negara menjamin kesamaan hak bagi seluruh warga negara, baik laki-laki maupun perempuan (Pasal 27 UUD 1945). Akibatnya, kesejahteraan perempuan tidak pernah meningkat, mereka tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan, seperti periksa hamil gratis dan mendapatkan layanan KB gratis, mendapatkan beasiswa. Mereka semakin terpuruk, sementara para pejabat semakin kaya. Sebagai korban, perempuan tidak mampu berbuat apa-apa. Perempuan, tidak lagi menikmati fasilitas kesehatan dan pendidikan, sebagai layanan dasar yang harus dipenuhi negara. Di bidang kesehatan, perempuan harus mengeluarkan biaya mahal untuk berobat, karena negara tidak menyediakan dana untuk layanan kesehatan yang murah dan berkwalitas.
Fenomena korupsi terjadi mulai dari pejabat di Pusat (Jakarta), sampai pamong di tingkat desa atau dusun. Pejabat tidak lagi memiliki kepedulian terhadap masyarakat miskin yang terus menerus menderita. Pejabat tanpa rasa salah dan malu terus menerus menyakiti hati rakyatnya. Bahkan disaat Presiden SBY memerangi setan korupsi ini, DPR dengan entengnya justeru meminta Dana Serap Aspirasi. Ini menjadi bukti dan tanda bahwa korupsi adalah budaya, bukan aib yang memalukan. Pemerintah yang seharusnya menjadi mandat rakyat untuk memajukan pembangunan dan mensejahterakan rakyatnya justeru seperti “Antara Ada Dan Tiada “. Masyarakat bingung dan saya sendiri sempat merinding bulu kuduk ketika hampir setiap pagi di berita-berita media eletronik maupun media cetak tertulis dan tersiar banyak pejabat yang ditahan karena diduga sebagai pelaku korupsi. Bahkan di kota kita tercinta ini, masih segar dalam ingatan kita yaitu korupsi di tubuh Dinas Kesehatan Promal melalui pengadaan Alkes.





Power tends to c

orrupt, absolute power corrupts absolutely (Lord Acton). Kata-kata bijak merupakan pernyataan yang sangat populer ketika orang membicarakan tentang kekuasaan dan hubungannya dengan korupsi. Korupsi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak berkaitan dengan ekonomi-politik dan kekuasaan tetapi seringkali orang lupa bahwa ada dimensi manusia sebagai pelaku korupsi.
Samuel Huntington dalam buku Political Order in Changing Societies, mendefinisikan korupsi sebagai “behavior of public officials which deviates from accepted norms in order to serve private ends (1968: 59). Korupsi merupakan perilaku menyimpang dari para pegawai publik (public officials) dari norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Berkaitan dengan definisi tersebut, jelas terlihat bahwa korupsi tak hanya menyangkut aspek hukum, ekonomi, dan politik, tapi juga menyangkut perilaku manusia yang menjadi bahasan utama ilmu psikologi.
Sayangnya, ranah psikologi, khususnya di Indonesia, masih berorientasi pada sektor industri. Secara umum bidang yang diminati psikologi berkutat pada sumber daya manusia untuk kepentingan ekonomi dan psikologi konsumen. Dimensi sosial, khususnya psikologi dan perilaku korupsi hampir tak pernah dibicarakan, apalagi menjadi kajian akademis. Padahal problem korupsi di Indonesia menjadi persoalan besar, dan sering disebut sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa).
Indeks Persepsi Korupsi hasil survei Tranparency International dalam lima tahun terakhir skornya cuma naik 0,5 dari 1,9 (2001) ke 2,4 (2006) sehingga Indonesia masih bertahan dalam kelompok negara terkorup. Governance Assessment Survey (2007) UGM-PGR terhadap enam indikator tata kelola pemerintahan (governance) versi Bank Dunia di 10 provinsi dan 10 kabupaten, salah satunya menyimpulkan, pungutan liar (pungli) masih lazim, dan pemberantasan korupsi terhambat keseriusan pemerintah dan lembaga bukan pemerintah.
Ragam Korupsi
Alatas (1975: 46) menyebutkan ciri-ciri korupsi. Antara lain: Biasanya melibatkan lebih dari satu orang; Melibatkan keserbarahasiaan kecuali telah berurat berakar; Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik (tidak selalu uang); Pelaku biasanya berlindung di balik pembenaran hukum; Pelaku adalah orang yang mampu mempengaruhi keputusan; Mengandung penipuan kepada badan publik atau masyarakat umum; Pengkhianatan kepercayaan; Melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif; Melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban; Dan kepentingan umum di bawah kepentingan khusus.
Lebih lanjut Alatas (1975: 46) menjelaskan beberapa hal yang menjadi penyebab korupsi. Antara lain: Ketiadaan/kelemahan kepemimpinan dalam posisi kunci yang mempengaruhi tingkah laku menjinakkan korupsi; Kelemahan pengajaran agama dan etika; Konsumerisme dan globalisasi; Kurangnya pendidikan; Kemiskinan; Tidak adanya tindak hukuman yang keras; Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti-korupsi; Struktur pemerintahan; Dan perubahan radikal/transisi demokrasi.
Menurut Aditjondro (2003: 22) ada tiga model lapisan korupsi. Yaitu: Pertama, Korupsi Lapis Pertama. Berupa penyuapan (bribery) dengan prakarsa yang datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik, atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) diprakarsai untuk meminta ‘balas jasa’ yang datang dari birokrat atau petugas pelayanan publik lainnya.
Kedua, Korupsi Lapis Kedua. Yaitu jejaring korupsi (cabal) antara birokrat, politisi, aparat penegakan hukum dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Biasanya ada ikatan nepotistis di antara beberapa anggota jejaring korupsi, yang dapat berlingkup nasional.
Ketiga, Korupsi Lapis Ketiga. Yaitu jejaring korupsi (cabal) berlingkup internasional, dengan kedudukan aparat penegakan hukum pada model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga penghutang dan/atau lembaga-lembaga internasional yang punya otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terpilih oleh pimpinan rezim yang jadi anggota jejaring korupsi internasional tersebut.
Namun Irwan (2003: 32) menegaskan, bahwa korupsi tidak selalu harus menyangkut hubungan segitiga antara pemerintah, bisnis dan masyarakat, baik di level nasional maupun internasional. Korupsi dapat terjadi di bidang-bidang yang tidak langsung berhubungan dengan pemerintah dan bisnis.
Menurut Irawan, ada empat lingkar pelaku korupsi: Pertama, korupsi yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan bisnis. Kedua, korupsi yang melibatkan kreditor multilateral, pemerintah pusat dan daerah. Ketiga , korupsi yang melibatkan LSM dan lembaga donor asing. Dan keempat, korupsi yang baik pelaku maupun korban adalah rakyat kelas menengah ke bawah.
Perilaku Korupsi
Berbicara tentang perilaku korupsi, dari kacamata psikologi tak lepas dari pengaruh aliran behaviorisme. Tokoh berpengaruh dari aliran ini salah satunya adalah J.B Watson (1878-1958) yang terkenal dengan stimulus-response theory.
Ia mempelajari bahwa setiap tingkah laku pada hakikatnya merupakan tanggapan atau balasan (response) terhadap rangsang (stimulus), karena itu rangsang sangat mempengaruhi tingkah laku manusia. Watson bahkan sampai pada kesimpulan bahwa setiap perilaku ditentukan dan diatur oleh rangsang. Perilaku korupsi tak akan terjadi jika tak ada stimulus dari luar. Stimulus dapat berupa rangsangan uang dan kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi.
Yang dimaksud dengan rangsang (stimulus) adalah peristiwa baik yang terjadi di luar maupun di dalam tubuh manusia yang memungkinkan tingkah laku terjadi. Perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya rangsang itu disebut “tingkah laku balas” (response). Hubungan stimulus-response yang sudah sangat kuat akan menimbulkan “reflex” yaitu tingkah laku balas yang dengan sendirinya timbul bila terjadi suatu rangsang tertentu. Reflex dalam teori rangsang-balas merupakan dasar dari proses belajar.
Teori Watson ini dikembangkan lebih jauh oleh B.F. Skinner dan C.L Hull. Istilah yang juga sering digunakan dalam teori-teori rangsang balas adalah dorongan (drive). Menurut kaum mediationist (Hull dan lain-lain), dorongan adalah semacam energi (daya) yang mengarahkan individu kepada pilihan tingkah laku tertentu. Pilihan-pilihan tingkah laku ini ditimbulkan oleh kebutuhan (need).
Di era modernitas saat industrialisasi dan konsumerisme tumbuh subur, kebutuhan (need) menjadi meningkat, sehingga pemenuhan kebutuhan seakan tidak mencapai pemuasan, hingga merangsang orang melakukan korupsi untuk pemenuhan kebutuhannya.
Dengan demikian, kebutuhan dan dorongan merupakan variabel atau faktor yang ada antara rangsangan dan tingkah laku balasnya. Seringkali kebutuhan dan dorongan berjalan searah. Misalkan, seseorang butuh barang-barang mewah lalu ia memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi, maka ia akan melakukannya. Tapi ada kalanya dorongan tak sejalan dengan kebutuhan. Seperti meski ada kebutuhan tapi gaji pas-pasan, namun jika tak ada dorongan, maka orang tak akan melakukan tindakan korupsi.
Dollard dan Miller (1941) sepaham dengan Hull tentang ada dua dorongan pada manusia: primer dan sekunder. Dorongan primer adalah dorongan bawaan, seperti lapar, haus, sakit dan seks. Dorongan sekunder adalah dorongan-dorongan yang bersifat sosial yang dipelajari, seperti dorongan untuk mendapatkan upah, pujian, penghargaan dan sebagainya.
Namun demikian, Skinner tidak menganggap penting konsep dorongan ini. Konsep ini menurut Skinner hanya menggambarkan kuat lemahnya suatu perilaku tertentu. Dorongan tidak mempunyai peranan penting dalam proses hubungan rangsang-balas. Skinner mengemukakan tiga fungsi dari rangsang yang diistilahkan sebagai pembangkitan (elicition), diskriminasi (discrimination) dan penguat (reinforcement).
Pembangkitan adalah rangsang langsung yang menimbulkan tingkah laku balas. Seperti melihat uang atau makanan yang langsung membangkitkan air liur. Pada rangsang diskriminasi hanya merupakan pertanda, misalkan suara penjaja makanan atau iming-iming penyuapan. Sedangkan rangsang penguat adalah untuk memperkuat atau memperlemah perilaku. Contohnya pujian, dorongan lingkungan atau hukuman.
Konsep-konsep lain yang sering dikemukakan dalam teori rangsang-balas adalah penyamarataan (generalization) dan diskriminasi (dicrimination). Penyamaraan adalah proses ketika suatu rangsang menimbulkan balas yang pernah dipelajari dari rangsang lain serupa atau hampir serupa. Contoh: seseorang melakukan pelanggaran, kemudian mempelajari bahwa dapat terhindar dari tilang dengan menyogok polisi. Dengan beberapa kali melakukannya, ia dapat melakukan generalisasi bahwa semua polisi bisa disuap.
Konsep diskriminasi berlaku sebaliknya. Diskriminasi berarti timbulnya tingkah laku balas yang berbeda terhadap rangsangan yang berbeda-beda pula. Contoh: kasus penyuapan di tubuh KPU beberapa tahun lalu (Mulyana W. Kusuma kepada Khairiansyah dari BPK). Ternyata, penyuapan tidak berhasil dalam semua kasus. Hal ini kemungkinan menimbulkan efek jera untuk melakukan penyuapan pada auditor BPK.
Perilaku korupsi juga dapat dipelajari melalui prinsip-prinsip psikologi belajar yang dikemukakan Miller dan Dollard (1941). Menurutnya, ada empat prinsip belajar: dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku balas (response), dan ganjaran (reward). Keempat prinsip ini sangat kait mengait dan dapat saling dipertukarkan.
Dalam tindakan korupsi, juga melewati prinsip belajar ini yaitu ada dorongan baik internal, seperti kebutuhan (need), atau eksternal seperti dari sesama pegawai publik atau atasan. Kemudian, ada isyarat atau kesempatan, sehingga terjadi tindakan (respons). Perilaku ini dapat diperkuat dengan reward atau diperlemah dengan sistem punishment.
Rekomendasi Psikologi Sosial
Fenomena korupsi di Indonesia dapat dipahami secara kultural melalui pendapat Huntington. Menurutnya, korupsi memerlukan “some recognition of the differences between public role and private interest” (1968: 60).
Huntington memberi ilustrasi tentang peran publik dan kepentingan pribadi lewat peran seorang raja. Jika budaya politik yang berlaku tidak membedakan peran raja sebagai seorang pribadi dan perannya sebagai raja, maka tak mungkin orang dapat menuduh raja melakukan korupsi ketika ia menggunakan dana-dana publik.
Lebih lanjut menurut Hunttington, ”some notion of this distiction, however, is necessary to reach any conclusion as to whether the action of the king are proper or corrupt” (1968: 60). Pejabat di Indonesia semestinya juga bisa membedakan ranah peran publik dan kepentingan pribadi.
Tindakan salah, seperti perilaku korupsi, adalah penyalahgunaan wewenang sebagai pribadi. Sehingga jika ia (pejabat) memikirkan kepentingan masyarakat luas, idealnya ia akan berani mengakui kesalahan dan menanggung resiko perbuatan. Hal ini masih sangat jarang kita jumpai pada diri pejabat publik di negeri ini.
Dalam strategi pemberantasan korupsi, rekomendasi yang bisa diberikan dalam kerangka psikologi sosial adalah perlunya memperkuat reward-punishment. Meski UU Anti-Korupsi telah dibuat beserta perangkat UU yang lengkap, namun sampai kini belum ada terapi kejut yang dapat membuat para koruptor jera. Selain itu perlu juga dipikirkan mekanisme reward atau penghargaan bagi para pejabat, masyarakat, tokoh agama, dan khususnya whistle blowers yang berani menolak dan berjasa memberantas tindakan korupsi.
Makalah Korupsi di Indonesia
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.
Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).
Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Perspektif politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri sahabat Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia.
B. PERMASALAHAN
Bagaimana korupsi mempengaruhi pembangunan ekonomi di Indonesia?
Strategi apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktek korupsi tersebut?
Bagaimana multiplier effect bagi efesiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Tindak Pidana Korupsi
Jeremy Pope dalam bukunya Confronting Coruption: The Element of National Integrity System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatinan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan konsep pemerintahan totaliter, diktator –yang meletakkan kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam sistem sosial-politik yang demokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah praktek korupsinya, apabila kehidupan sosial-politiknya tolerasi bahkan memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga tindakan pelanggaran hak asasi manusia, lanjut Pope.
Menurut Dieter Frish, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek pembangunan dipilih karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi kepentingan publik. Korupsi selalu menyebabkan situasi sosial-ekonomi tak pasti (uncertenly). Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peluang bisnis yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Sektor swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of Investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat praktek korupsi juga sulit diprediksi. Akhiar Salmi dalam makalahnya menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Dalam makalahnya, Salmi juga menjelaskan makna korupsi menurut Hendry Campbell Black yang menjelaskan bahwa korupsi “ An act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the right of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the right of others.” Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Jadi perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Mubaryanto, Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi “KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barangkali beralasan karena praktek korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi secara gamblang dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.

B. Korupsi dan Politik Hukum Ekonomi
Korupsi merupakan permasalah mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, tergambar adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi. Retorika anti korupsi tidak cukup ampuh untuk memberhentikan praktek tercela ini. Peraturan perundang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat oleh pemerintah, menjadi meaning less, apabila tidak dibarengi dengan kesungguhan untuk manifestasi dari peraturan perundang-undangan yang ada. Politik hukum tidak cukup, apabila tidak ada recovery terhadap para eksekutor atau para pelaku hukum. Konstelasi seperti ini mempertegas alasan dari politik hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak lebih hanya sekedar memenuhi meanstream yang sedang terjadi.
Dimensi politik hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau “enactment policy”, merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di Negara berkembang, dimana peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah, penguasa tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif. Dan konsep perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominan terjadi di Indonesia, yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui kelemahan perundang-undangan. Lihat saja Undang-undang bidang ekonomi hasil analisis Hikmahanto Juwana, seperti Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Pasar Modal, Undang-undang Hak Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU Kepailitan, UU Perbankan, UU Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen, UU Jasa Konstruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU Arbitrase, UU Telekomunikasi, UU Fidusia, UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri dan banyak UU bidang ekonomi lainnya. Hampir semua peraturan perundang-undangan tersebut memiliki dimensi kebijakan politik hukum “ kebijakan pemberlakuan”, dan memberikan ruang terhadap terjadinya praktek korupsi.
Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa Negara-negara industri tidak dapat lagi menggurui Negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui korupsilah sistem ekonomi-sosial rusak, baik Negara maju dan berkembang. Bahkan dalam bukunya “The Confesion of Economic Hit Man” John Perkin mempertegas peran besar Negara adidaya seperti Amerika Serikat melalui lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia dan perusahaan Multinasional menjerat Negara berkembang seperti Indonesia dalam kubangan korupsi yang merajalela dan terperangkap dalam hutang luar negeri yang luar biasa besar, seluruhnya dikorup oleh penguasa Indonesia saat itu. Hal ini dilakukan dalam melakukan hegemoni terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia, dan berhasil. Demokratisasi dan Metamorfosis Korupsi Pergeseran sistem, melalui tumbangnya kekuasaan icon orde baru, Soeharto. Membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokratisasi di Indonesia. Reformasi, begitu banyak orang menyebut perubahan tersebut. Namun sayang reformasi harus dibayar mahal oleh Indonesia melalui rontoknya fondasi ekonomi yang memang “Buble Gum” yang setiap saat siap meledak itu. Kemunafikan (Hipocrasy) menjadi senjata ampuh untuk membodohi rakyat. Namun, apa mau dinyana rakyat tak pernah sadar, dan terbuai oleh lantunan lembut lagu dan kata tertata rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulut para pelanjut cita-cita dan karakter orde baru. Dulu korupsi tersentralisasi di pusat kekuasaan, seiring otonomi atau desentralisasi daerah yang diikuti oleh desentralisasi pengelolaan keuangan daerah, korupsi mengalami pemerataan dan pertumbuhan yang signifikan. Pergeseran sistem yang penulis jelaskan, diamini oleh Susan Rose-Ackerman, yang melihat kasus di Italy, Rose menjelaskan demokratisasi dan pasar bebas bukan satu-satunya alat penangkal korupsi, pergeseran pemerintah otoriter ke pemerintahan demokratis tidak serta merta mampu menggusur tradisi suap-menyuap. Korupsi ada di semua sistem sosial –feodalisme, kapitalisme, komunisme dan sosialisme. Dibutuhkan Law effort sebagai mekanisme solusi sosial untuk menyelesaikan konflik kepentingan, penumpuk kekayaan pribadi, dan resiko suap-menyuap. Harus ada tekanan hukum yang menyakitkan bagi koruptor. Korupsi di Indonesia telah membawa disharmonisasi politik-ekonomi-sosial, grafik pertumbuhan jumlah rakyat miskin terus naik karena korupsi.
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah ditemukan dipelbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat sistem integritas public. Biro pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama. Dan dua alasan ini menyeruak di Indonesia, pelayanan publik tidak pernah termaksimalisasikan karena praktik korupsi dan demokratisasi justru memfasilitasi korupsi. Korupsi dan Ketidakpastian Pembangunan Ekonomi Pada paragraf awal penulis jelaskan bahwa korupsi selalu mengakibatkan situasi pembangunan ekonomi tidak pasti. Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang sehat. Sektor swasta sulit memprediksi peluang bisnis dalam perekonomian, dan untuk memperoleh keuntungan maka mereka mau tidak mau terlibat dalam konspirasi besar korupsi tersebut. High cost economy harus dihadapi oleh para pebisnis, sehingga para investor enggan masuk menanamkan modalnya disektor riil di Indonesia, kalaupun investor tertarik mereka prepare menanamkan modalnya di sektor financial di pasar uang.
Salah satu elemen penting untuk merangsang pembangunan sektor swasta adalah meningkatkan arus investasi asing (foreign direct investment). Dalam konteks ini korupsi sering menjadi beban pajak tambahan atas sektor swasta. Investor asing sering memberikan respon negatif terhadap hali ini(high cost economy). Indonesia dapat mencapai tingkat investasi asing yang optimal, jika Indonesia terlebih dahulu meminimalisir high cost economy yang disebabkan oleh korupsi. Praktek korupsi sering dimaknai secara positif, ketika perilaku ini menjadi alat efektif untuk meredakan ketegangan dan kebekuan birokrasi untuk menembus administrasi pemerintah dan saluran politik yang tertutup. Ketegangan politik antara politisi dan birokrat biasanya efektif diredakan melalui praktek korupsi yang memenuhi kepentingan pribadi masing-masing. Pararel dengan pendapat Mubaryanto, yang mengatakan “Ada yang pernah menyamakan penyakit ekonomi inflasi dan korupsi. Inflasi, yang telah menjadi hiperinflasi tahun 1966, berhasil diatasi para teknokrat kita. Sayangnya sekarang tidak ada tanda-tanda kita mampu dan mau mengatasi masalah korupsi, meskipun korupsi sudah benar-benar merebak secara mengerikan. Rupanya masalah inflasi lebih bersifat teknis sehingga ilmu ekonomi sebagai monodisiplin relatif mudah mengatasinya. Sebaliknya korupsi merupakan masalah sosial-budaya dan politik, sehingga ilmu ekonomi sendirian tidak mampu mengatasinya. Lebih parah lagi ilmu ekonomi malah cenderung tidak berani melawan korupsi karena dianggap “tidak terlalu mengganggu pembangunan”. Juga inflasi dianggap dapat “lebih menggairahkan” pembangunan, dapat “memperluas pasar” bagi barang-barang mewah, yang diproduksi. “Dunia usaha memang nampak lebih bergairah jika ada korupsi”! Apapun alasannya, korupsi cenderung menciptakan inefisiensi dan pemborosan sektor ekonomi selalu terjadi. Output yang dihasilkan tidak sebanding dengan nilai yang dikeluarkan, ancaman inflasi selalu menyertai pembangunan ekonomi. GDP turun drastis, nilai mata uang terus tergerus. Akibat efek multiplier dari korupsi tersebut. Mubaryanto menjelaskan, Kunci dari pemecahan masalah korupsi adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan. Korupsi harus dianggap menghambat pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislatif di pusat dan di daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil rakyat. Jika wakil-wakil rakyat sudah “berjamaah” dalam berkorupsi maka tindakan ini jelas tidak mewakili aspirasi rakyat, Jika sejak krisis multidimensi yang berawal dari krismon 1997/1998 ada anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak lagi pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka ini berarti harus ada keadilan politik.
Keadilan ekonomi dan keadilan sosial sejauh ini tidak terwujud di Indonesia karena tidak dikembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah “aturan main” berpolitik yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara. Kita menghimbau para filosof dan ilmuwan-ilmuwan sosial, untuk bekerja keras dan berpikir secara empirik-induktif, yaitu selalu menggunakan data-data empirik dalam berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saja, lebih-lebih dengan selalu mengacu pada teori-teori Barat. Dengan berpikir empirik kesimpulan-kesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan masa sekarang. Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama masih sangat banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan. Negara kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk memberantas praktek korup maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa skandal ekonomi dan korupsi sering terjadi dibanyak Negara kaya dan makmur dan juga terjadi dari kebejatan moral para cleptocrasy di Negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Pembangunan ekonomi sering dijadikan alasan untuk menggadaikan sumber daya alam kepada perusahaan multinasional dan Negara adi daya yang didalamnya telah terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundit-pundi harta bagi kepentingan politik dan pribadi maupun kelompoknya.

C. Korupsi dan Desentralisasi
Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok setelah reformasi digulirkan. Desentralisasi di Indonesia oleh banyak pengamat ekonomi merupakan kasus pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia, sehingga pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonom dan pengamat politik di dunia. Kompleksitas permasalahan muncul kepermukaan, yang paling mencolok adalah terkuangnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislatif daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia. Pemerintah daerah menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi. Namun, juga sering membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia, karena munculnya pungutan-pungutan yang lahir melalui Perda (peraturan daerah) yang dibuat dalam rangka meningkatkan PAD (pendapatan daerah) yang membuka ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka tidak sadar, karena praktek itulah, investor menahan diri untuk masuk ke daerahnya dan memilih daerah yang memiliki potensi biaya rendah dengan sedikit praktek korup. Akibat itu semua, kemiskinan meningkat karena lapangan pekerjaan menyempit dan pembangunan ekonomi di daerah terhambat. Boro-boro memacu PAD. Terdapat beberapa bobot yang menentukan daya saing investasi daerah. Pertama, faktor kelembagaan. Kedua, faktor infrastruktur. Ketiga, faktor sosial – politik. Keempat, faktor ekonomi daerah. Kelima, faktor ketenagakerjaan. Hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002 faktor kelembagaan, dalam hal ini pemerintah daerah sebagi faktor penghambat terbesar bagi investasi hal ini berarti birokrasi menjadi faktor penghambat utama bagi investasi yang menyebabkan munculnya high cost economy yang berarti praktek korupsi melalui pungutan-pungutan liar dan dana pelicin marak pada awal pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah tersebut. Dan jelas ini menghambat tumbuhnya kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan di daerah karena korupsi di birokrasi daerah. Namun, pada tahun 2005 faktor penghambat utama tersebut berubah. Kondisi sosial-politik dominan menjadi hambatan bagi tumbuhnya investasi di daerah.
Pada tahun 2005 banyak daerah melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang menyebabkan instabilisasi politik di daerah yang membuat enggan para investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Dalam situasi politik seperti ini, investor lokal memilih menanamkan modalnya pada ekspektasi politik dengan membantu pendanaan kampanye calon-calon kepala daerah tertentu, dengan harapan akan memperoleh kemenangan dan memperoleh proyek pembangunan di daerah sebagai imbalannya. Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus pembangunan ekonomi, justru hanya akan memperbesar pengeluaran pemerintah (government expenditure) karena para investor hanya mengerjakan proyek-proyek pemerintah tanpa menciptakan output baru diluar pengeluaran pemerintah (biaya aparatur negara). Bahkan akan berdampak pada investasi diluar pengeluaran pemerintah, karena untuk meningkatkan PAD-nya mau tidak mau pemerintah daerah harus menggenjot pendapatan dari pajak dan retrebusi melalui berbagai Perda (peraturan daerah) yang menciptakan ruang bagi praktek korupsi. Titik tolak pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi penyebab munculnya high cost economy yang melahirkan korupsi tersebut karena didukung oleh birokrasi yang njelimet.
Seharusnya titik tolak pemerintah daerah adalah pembangunan ekonomi daerah dengan menarik investasi sebesar-besarnya dengan merampingkan birokrasi dan memperpendek jalur serta jangka waktu pengurusan dokumen usaha, serta membersihkan birokrasi dari praktek korupsi. Peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), pengurangan jumlah pengangguran dan kemiskinan pasti mengikuti.

D. Memberantas Korupsi demi Pembangunan Ekonomi
Selain menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghambat pengembangan sistem pemerintahan demokratis. Korupsi memupuk tradisi perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau kelompok, yang mengesampingkan kepentingan publik. Dengan begitu korupsi menutup rapat-rapat kesempatan rakyat lemah untuk menikmati pembangunan ekonomi, dan kualitas hidup yang lebih baik. Pendekatan yang paling ampuh dalam melawan korupsi di Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan standar tata pemerintahan – melalui konstruksi integritas nasional. Tata pemerintahan modern mengedepankan sistem tanggung gugat, dalam tatanan seperti ini harus muncul pers yang bebas dengan batas-batas undang-undang yang juga harus mendukung terciptanya tata pemerintah dan masyarakat yang bebas dari korupsi. Demikian pula dengan pengadilan. Pengadilan yang merupakan bagian dari tata pemerintahan, yudikatif, tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun, memiliki ruang kebebasan menegakkan kedaulatan hukum dan peraturan. Dengan demikian akan terbentuk lingkaran kebaikan yang memungkin seluruh pihak untuk melakukan pengawasan, dan pihak lain diawasi. Namun, konsep ini penulis akui sangat mudah dituliskan atau dikatakan daripada dilaksanakan. Setidaknya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun pilar-pilar bangunan integritas nasional yang melakukan tugas-tugasnya secara efektif, dan berhasil menjadikan tindakan korupsi sebagai perilaku yang beresiko sangat tinggi dengan hasil yang sedikit.
Konstruksi integritas nasional, ibarat Masjidil Aqsha yang suci yang ditopang oleh pilar-pilar peradilan, parlemen, kantor auditor-negara dan swasta, ombudsman, media yang bebas dan masyarakat sipil yang anti korupsi. Diatas bangunan nan suci itu ada pembangunan ekonomi demi mutu kehidupan yang lebih baik, tatanan hukum yang ideal, kesadaran publik dan nilai-nilai moral yang kokoh memayungi integritas nasional dari rongrongan korupsi yang menghambat pembangunan yang paripurna. Kedua, hal yang paling sulit dan fundamental dari semua perlawanan terhadap korupsi adalah bagaimana membangun kemauan politik (political will). Kemauan politik yang dimaksud bukan hanya sekedar kemauan para politisi dan orang-orang yang berkecimpung dalam ranah politik. Namun, ada yang lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan politik yang termanifestasikan dalam bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan sosial masyarakat sipil atau warga Negara dari berbagai elemen dan strata sosial. Sehingga jabatan politik tidak lagi digunakan secara mudah untuk memperkaya diri, namun sebagai tangggung jawab untuk mengelola dan bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Biasanya resiko politik merupakan hambatan utama dalam melawan gerusan korupsi terhadap pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, mengapa kesadaran masyarakat sipil penting?.
Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, para politisi dan pejabat Negara tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan sosial-politik dari masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk menahan diri dari praktek korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara sosial-politik akan memilih pimpinan (politisi) dan pejabat Negara yang memiliki integritas diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan merancang kebijakan kearah pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil yang cerdas secara sosial-politik pula pilar-pilar peradilan dan media massa dapat diawasi sehingga membentuk integritas nasional yang alergi korupsi. Ketika Konstruksi Integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus dengan efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang memadai.masyarakat sipil pula yang memberi ruang dan menciptakan ruang pembangunan ekonomi yang potensial. Masyarakat melalui para investor akan memutuskan melakukan investasi yang sebesar-besarnya karena hambatan ketidakpastian telah hilang oleh bangunan integritas nasional yang kokoh. Jumlah output barang dan jasa terus meningkat karena kondusifnya iklim investasi di Indonesia, karena kerikil-kerikil kelembagaan birokrasi yang njelimet dan korup telah diminimalisir, kondisi politik stabil dan terkendali oleh tingginya tingkat kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil.
Para investor mampu membuat prediksi ekonomi dengan ekspektasi keuntungan tinggi. Sehingga dengan begitu pembangunan ekonomi akan memberikan dampak langsung pada pengurangan jumlah pengangguran dan masyarakat miskin, peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) masing-masing daerah, peningkatan GDP dan pemerintah akan mampu membangun sisten jaminan sosial warganya melalui peningkatan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang memberikan dampak langsung pada peningkatan kecerdasan masyarakat sipil.

BAB III
KESIMPULAN
Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang.


Tanggal 9 Desember adalah Hari Anti Korupsi se-Dunia. Bagi bangsa Indonesia peringatan momentum tersebut memiliki arti penting dalam upaya mengeliminasi praktek-praktek korupsi yang telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi tantangan yang dihadapi kian berat.

Indikasi belum tuntasnya reformasi hukum dan institusi penegak hukum nampak terlihat dari perseteruan antara KPK dengan Polri dan Kejagung belum lama ini. Sebuah konflik yang pada hakekatnya telah mencoreng wajah peradilan kita.

Dalam perspektif agama korupsi ini merupakan akar penyebab kemiskinan sebuah bangsa. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menyatakan bahwa "al-amanatu tajlibur rizqa wal khiyanatu tajlibul faqra", yang artinya: perilaku amanah akan mendatangkan rezeki, sedangkan perilaku khianat (korupsi) akan mendatangkan kemiskinan.

Karena itu memerangi korupsi merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya pembangunan kesejahteraan masyarakat. Tidak mungkin sebuah bangsa akan menjadi sejahtera apabila korupsi dibiarkan merajalela di semua sendi kehidupan.

Dampak Korupsi

Sesungguhnya korupsi memiliki beberapa dampak yang sangat membahayakan kondisi perekonomian sebuah bangsa. Dampak-dampak tersebut antara lain:

Pertama, menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Chetwynd et al (2003), korupsi akan menghambat pertumbuhan investasi. Baik investasi domestik maupun asing. Mereka mencontohkan fakta business failure di Bulgaria yang mencapai angka 25 persen.

Maksudnya, 1 dari 4 perusahaan di negara tersebut mengalami kegagalan dalam melakukan ekspansi bisnis dan investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa. Selanjutnya, terungkap pula dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang dari 5 persen GDP dunia setiap tahunnya hilang akibat korupsi. Sedangkan Uni Afrika menyatakan bahwa benua tersebut kehilangan 25 persen GDP-nya setiap tahun juga akibat korupsi.

Yang juga tidak kalah menarik adalah riset yang dilakukan oleh Mauro (2002). Setelah melakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan bahwa kenaikan 2 poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala 0-10) akan mendorong peningkatan investasi lebih dari 4 persen. Sedangkan Podobnik et al (2008) menyimpulkan bahwa pada setiap kenaikan 1 poin IPK, GDP per kapita akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen setelah melakukan kajian empirik terhadap perekonomian dunia tahun 1999-2004.

Tidak hanya itu. Gupta et al (1998) pun menemukan fakta bahwa penurunan skor IPK sebesar 0,78 akan mengurangi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin sebesar 7,8 persen. Ini menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Kedua, korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan. Sehingga, kualitas pelayanan pemerintah terhadap masyarakat mengalami penurunan. Layanan publik cenderung menjadi ajang 'pungli' terhadap rakyat. Akibatnya, rakyat merasakan bahwa segala urusan yang terkait dengan pemerintahan pasti berbiaya mahal.

Sebaliknya, pada institusi pemerintahan yang memiliki angka korupsi rendah, maka layanan publik cenderung lebih baik dan lebih murah. Terkait dengan hal tersebut, Gupta, Davoodi, dan Tiongson (2000) menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan memperburuk layanan kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, angka putus sekolah dan kematian bayi mengalami peningkatan.

Ketiga, sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Yang terjadi justru sebaliknya, korupsi akan meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.

Terkait dengan hal ini, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan IPK sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin akan semakin melebar. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya aliran dana dari masyarakat umum kepada para elit, atau dari kelompok miskin kepada kelompok kaya akibat korupsi.

Keempat, korupsi juga berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak. Baik individual maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain meningkatkan ketamakan dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan korupsi juga akan menyebabkan hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama.

Rasa saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang. Akibatnya, muncul fenomena distrust society, yaitu masyarakat yang kehilangan rasa percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap institusi negara. Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak aman (insecurity feeling). Inilah yang dalam bahasa Al-Quran dikatakan sebagai libaasul khauf (pakaian ketakutan).

Terkait dengan hal tersebut, Uslaner (2002) menemukan fakta bahwa negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat ketidakpercayaan dan kriminalitas yang tinggi pula. Ada korelasi yang kuat di antara ketiganya.

Kondisi Indonesia

Sementara itu, bangsa Indonesia juga menghadapi persoalan korupsi yang akut. Hal itu ditandai dengan rendahnya skor IPK kita yang mencapai angka 2,3 di tahun 2008, meskipun mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan skor IPK tahun 2004 yang mencapai angka 2,0 (Rizal Yaya, 2009). Sebuah perbaikan yang lumayan walaupun masih sangat rendah.

Tentu saja angka tersebut harus ditingkatkan ke depannya apabila Indonesia berniat untuk mendatangkan arus investasi lebih besar lagi. Sehingga target kebutuhan dana investasi sebesar Rp 2 ribu triliun setiap tahunnya dapat terpenuhi.

Kemudian yang juga masih menjadi PR besar bangsa ini adalah high cost economy yaitu tingginya biaya ekonomi yang memberatkan kalangan dunia usaha. Menurut Ari Kuncoro (2008) berdasarkan penelitian yang dilakukannya di 37 kota/kabupaten di Pulau Jawa, dana suap atau dana siluman untuk memuluskan sebuah proses bisnis, ternyata angkanya mencapai 6,5 persen dari keseluruhan biaya produksi. Artinya, dari setiap Rp 100 ribu biaya produksi, maka Rp 6500 di antaranya merupakan komponen biaya suap.

Dengan kondisi seperti ini wajarlah jika daya saing dan produktivitas bangsa menjadi berkurang. Namun demikian yang menarik adalah meskipun angka korupsi negeri ini relatif tinggi Indonesia tetap memiliki pertumbuhan ekonomi yang positif. Bahkan, yang terbesar ketiga di Asia setelah China dan India pada tahun 2008.

Jika saja korupsi ini bisa dieliminasi secara total boleh jadi angka pertumbuhan ekonomi akan mencapai dua digit. Indonesia akan menjadi tempat tujuan investasi yang utama mengalahkan Malaysia dan Singapura. Jika ini terjadi maka kesejahteraan ekonomi yang merata dan berkeadilan hanya tinggal menunggu waktu.
Oleh karena itu, agar hal tersebut menjadi kenyataan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, perlunya reformasi sistem hukum dan penguatan institusi pemberantasan korupsi. Di India, keberadaan undang-undang dan institusi anti korupsi telah mengurangi korupsi hingga 18,5 persen, sehingga memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonominya (Bhattacharyya dan Jha, 2009). Untuk itu, penulis berharap agar integritas dan komitmen KPK, Polri, Kejagung, dan MA dalam penegakan supremasi hukum perlu ditingkatkan.

Kedua, pemangkasan ekonomi berbiaya tinggi untuk meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun demikian, agar pertumbuhan ekonomi tersebut merata dan berkeadilan, maka peran instrumen zakat, infak, sedekah, dan wakaf harus mendapat prioritas dalam program pembangunan nasional.
Ketiga, menerapkan sistem reward and punishment yang adil dan efektif kepada aparat negara, sehingga mereka bisa menunaikan kewajibannya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Wallahu'alam. (dc)
Tidak diragukan lagi bahwa Indonesia adalah negara yang penuh dengan koruptor. Kasus-kasus korupsi selalu terdengar beberapa tahun belakangan ini. Dampak korupsi pun bisa dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat luas.
Korupsi adalah suatu tindakan melanggar hukum dimana pelakunya akan berusaha memperkaya diri dengan cara yang tidak semestinya. Contohnya “mencuri” uang negara demi kepentingan pribadi atau golongan.
Korupsi sering dikait-kaitkan dengan kolusi dan nepotisme. Perbedaannya, korupsi adalah menggelapkan uang, kolusi adalah tindakan penyuapan, sedangkan nepotisme adalah tindakan untuk lebih memilih seseorang untuk bekerja sama berdasarkan hubungan pribadi (keluarga atau teman dekat) daripada kemampuan kerjanya.

Mengapa Korupsi Bisa Terjadi?
Dampak korupsi yang buruk sebenarnya sudah bisa dirasakan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat luas. Tapi kenapa korupsi masih saja menjamur di negeri ini?
Berikut ini beberapa contoh penyebab korupsi yang sangat marak di Indonesia :
• Hampir semua kejahatan terjadi karena suatu alasan tertentu, begitu pula dengan kasus korupsi. Penyebab korupsi yang paling utama tentu saja karena watak manusia yang selalu merasa tidak puas, hingga akhirnya ia melakukan korupsi dan menumpuk kekayaan.
• Gaji atau pendapatan yang mungkin terlalu kecil, juga bisa mendorong terjadinya korupsi dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dengan harta yang tidak seharusnya.
• Lingkungan penuh koruptor juga bisa mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindak korupsi. Seseorang yang semula bersih dari hal-hal berbau korupsi, bisa saja tergiur melihat temannya yang mendadak kaya dengan cara korupsi. Ia pun meniru temannya untuk mendapatkan kekayaan lebih tanpa memikirkan dampak korupsi itu sendiri.

Itulah beberapa penyebab yang memungkinkan seseorang untuk menggelapkan uang yang bukan miliknya. Namun, kejahatan korupsi juga bisa terjadi karena ada faktor-faktor lain yang mendukung. Berikut ini beberapa contohnya:
• Kurang atau bahkan tidak ada sama sekali transparansi keuangan dalam suatu sistem pemerintahan, baik pemerintahan Indonesia secara global maupun pemerintahan skala kecil, misalnya dalam suatu perusahaan.
• Lemahnya badan hukum negara. Dengan tidak adanya sangsi berat bagi koruptor, kasus korupsi akan terus terjadi. Selain itu, bukan rahasia lagi bahwa oknum-oknum di badan hukum juga ikut terlibat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
• Lemahnya pimpinan negara dan seluruh pemerintahan dalam penanganan kasus korupsi. Sampai saat ini, belum ada tindakan tegas yang benar-benar akan membuat koruptor jera.

Koruptor yang masuk penjara pun, masih bisa leluasa melakukan tindak KKN untuk hal-hal tertentu. Misalnya mendapat fasilitas kamar penjara yang mewah, atau bahkan keluar masuk tahanan sesuka hati.

Dampak Korupsi
• Dampak korupsi yang paling jelas adalah negara mengalami kerugian dan membuat rakyat semakin miskin. Uang yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, malah masuk ke kantong-kantong pejabat.
• Saat satu tindakan korupsi berhasil dilakukan dan tidak mendapat sanksi hukum yang sesuai, hal ini akan memicu tindakan korupsi yang lain. Hal ini bisa menjadikan Indonesia sebagai negara paling korup di dunia karena korupsi menjamur dengan suburnya.
• Citra badan hukum negara seperti kepolisian akan menjadi buruk di mata masyarakat. Hal ini akan membuat warga Indonesia tidak lagi menghormati badan hukum negara.
• Tak hanya badan hukum, seluruh pemerintahan Indonesia juga akan mendapat pandangan sinis dari masyarakat. Membuat warga tidak percaya lagi pada sistem pemerintahan.
• Pemilu tidak akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan masyarakat sudah malas untuk memilih pimpinan. Menurut masyarakat, mengikuti pemilu sama saja memilih koruptor berikutnya.
• Bila kasus korupsi dibiarkan terus-menerus, dampak korupsi yang paling besar adalah perlawanan dari rakyat karena ketidakpuasan pemerintahan.

Misalnya saja, tidak ada lagi masyarakat yang mau membayar pajak, terjadi demo besar-besaran yang memungkinkan bisa menggulingkan pemerintahan, dan keadaan negara akan kacau balau karena rakyat yang marah.
Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) merupakan tindakan sistemik yang banyak merugikan negara dan masyarakat. Eksistensi KKN ini sudah ada sejak zaman orde baru. Terlebih di zaman otoriter tersebut KKN secara implisit dilegalkan karena dilegitimasi langsung oleh penguasa yang kongkalikong dengan pengusaha.
Korupsi kolusi nepotisme merupakan tindakan yang sudah akut terjadi, khususnya di birokrasi-birokrasi negeri ini. Sebelum lebih jauh membahasnya, alangkan lebih baik jika dijelaskan satu persatu. Apa itu korupsi? Apa itu kolusi? Dan apa itu nepotisme?
Korupsi
Korupsi merupakan tindakan memperkaya diri sendiri, golongan, kerabat dengan cara melawan aturan hukum. Misalnya, kasus korupsinya Gayus Halomoan Tambunan yang merugikan negara ratusan miliar rupiah. Atau dakwaan korupsinya Aulia Pohan yang merugikan negara puluhan miliar rupiah. Seseorang disebut korupsi ketika ada uang negara yang digunakan untuk memperkaya diri dan atau golongannya saja.
Menyadari begitu urgent dan sulitnya menangani korupsi di negeri ini, pemerintah pada 2003 mendirikan lembaga yang khusus ditujukan untuk memberantas tindak korupsi yang semakin merajalela. Makanya hadir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimana ditunjuk sebagai ketuanya Taufiqurrahman Ruki.
Perjalanan KPK rupanya makin banyak tak disenangi oleh para koruptor. Betapa tidak, dibawah kepemimpinan Antasari Azhar (pengganti Ruki), KPK mampu menangkap koruptor-koruptor kakap semacam Jaksa Urip Tri Gunawan dengan barang bukti senilai Rp 6 miliar, Arthalita Suryani, dsb. Mungkin karena banyak pihak yang tak suka dengan kehadiran KPK ini, makanya usaha-usaha untuk menumpulkan dan mengkriminalisasi KPK semakin kencang.
Beruntung sampai sekarang lembaga KPK masih ada untuk mengurusi masalah-maalah korupsi meski langkahnya semakin berat. Paling tidak melihat KPK sekarang makin kekurangan taji dan taringnya. Manuver-manuver yang selama ini dilakukan sudah jauh mengalami penurunan. Semoga saja KPK masih kuat dan bertaring dalam menangani korupsi sebagai bagian dari korupsi kolusinepotisme.
Kolusi
Kolusi merupakan perilaku atau tindakan yang memiliki tendensi menguntungkan rekanan dengan cara menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki. Misalnya, seorang bupati, walikota atau pejabat negara lainnya, yang membuka tender hanya secara formalitas karena sudah ditetapkan pemenang tender, jauh-jauh hari sebelum tender dibuka.
Kolusi tak akan terlihat secara kasat mata melainkan hanya bisa dirasakan dan dianalisis dari indikasi-indikasi yang ditumbulkannya. Dengan pemberian privilege seorang pejabat kepada pihak-pihak tertentu, membeda-bedakan para peserta tender, dsb.
Nepotisme
Nepotisme beda tipis dengan kolusi, yakni sikap atau tindakan seorang pejabat yang lebih mendahulukan atau mengutamakan keluarga, teman dekat atau kerabat dibandingkan masyarakat lainnya. Misalnya dalam penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) biasanya praktik nepotisme ini sangat kental terjadi. Nah, keluarganya lebih didahulukan sekalipun, mungkin, ketika tes kelayakannya anggota keluarganya tersebut tak lulus.

Inilah tantangan keIndonesiaan ke depan, yakni mencegah korupsi kolusi nepotisme yang praktiknya semakin merajalela saja.
Korupsi menjadi musuh kita bersama. Manipulasi anggaran justru dilakukan oleh para anggota legeslatif, baik di tingkat pusat maupun daerah. Praktek korupsi sudah biasa dilakukan di tingkat birokrasi Indonesia, bahkan yang terendah, seperti misalnya contoh kasus korupsi yang sangat jelas dilakukan di muka umum ketika rakyat mengurus KTP, SIM, paspor, akte kelahiran, dan surat-surat penting lainnya.
Keberanian untuk berkorupsi para aparat di tingkat paling bawah, seperti oknum polisi dan DLAAJ, justru makin merajalela.Belum lagi yang terjadi di jajaran menengah dan atas yang tidak mudah diditeksi. Korupsi semacam ini biasanya dilakukan atas dasar sistem, sehingga praktek korupsi menjadi tersamar dan biasanya dilakukan secara berjama’ah.

Hukuman Koruptor Sangat Ringan
Peluang atau kesempatan untuk melakukan tindak korupsi ini sangat berpengaruh pada prilaku koruptor, apalagi hukumannya juga cukup ringan. Bandingkan dengan contoh kasus korupsi di Cina, negara kita jauh lebih memanjakan para koruptor dengan hanya menghukum kurungan. Padahal di Cina beberapa koruptor telah dihukum mati.
Contoh kasus korupsi di atas merupakan perbuatan yang sangat keji. Karena bisa menyebabkan kacaunya anggaran negara, dan mengurangi aset negara yang diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakat.
Pengaruh korupsi terhadap kesejahteraan rakyat bersifat langsung. Apabila anggaran negara terus defisit, bukan saja hutang luar negeri tidak terbayar, tetapi kinerja pemerintah juga menjadi kacau.
Peningkatan gaji pegawai dan terutama gaji para penegak hukum tidak bisa dilakukan, karena minimnya anggaran. Hal ini akan menyebabkan penindakan terhadap pelaku korupsi menjadi tumpul dan penuh rekayasa.

Perlunya Kontrol Pengawasan
Contoh kasus korupsi di atas juga dapat menyebabkan permasalahan ganda. Hal ini akan menjadi lebih terasa apabila masyarakat tidak perduli dengan masalah ini. Saat ini kontrol dari media sudah cukup kuat, tetapi kita juga tahu bahwa media juga terkadang bisa dibeli. Seringkali kasus korupsi menguap di tengah jalan, tanpa diketahui dengan jelas apa penyebabnya.
Media yang pada awalnya sangat gencar memuat berita-berita tentang kasus korupsi tersebut, lama kelamaan frekuensi tayangannya berkurang dan akhirnya kasus itu lenyap. Demo-demo anti korupsi marak, tetapi hasilnya juga kurang maksimal, selama korupsi telah menjadi budaya bangsa.
Kurangnya kontrol pengawasan akan memperparah bangsa kita menjadi bangsa yang korup apabila tidak dari sekarang dibenahi. Artinya, kontrol pengawasan baik itu dari aparat-aparat yang berwenang seperti misalnya komisi pemberantasan korupsi, kepolisian, maupun kejaksaan harus lebih dioptimalkan.
Dan yang lebih penting lagi adalah kontrol atau pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Ketika mengetahui ada tindak korupsi di sekitar Anda, segera laporkan.


Bentuk-Bentuk Korupsi dan Sistem Operasinya

Oleh: AnneAhira.com Content Team


Sudah puluhan tahun, negara kita terpuruk dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Banyak kasus korupsi yang semakin hari bukannya makin menurun, namun justru makin merajalela. Bentuk bentuk korupsi ini juga semakin bertambah, baik jenis maupun modus operasinya.
Korupsi adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara mengambil uang yang sebenarnya milik negara. Korupsi mulai berjangkit dan tumbuh subur di Indonesi ketika pemerintahan dikendalikan oleh Orde Baru.
Setelah pemerintahan Orde baru tumbang dan digantikan dengan Orde Reformasi, budaya korupsi tidak ikut mati. Malah semakin subur keberadaannya. Padahal salah satu tujuan dari lahirnya Orde Reformasi untuk memberantas korupsi hingga tuntas. Agaknya cita-cita ini tinggal mimpi belaka.

Bentuk - Bentuk Korupsi
Di Indonesia bentuk-bentuk korupsi banyak sekali. Beberapa diantaranya adalah:
• Menggunakan kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepadanya. Ini sering terjadi pada pejabat tingkat tinggi. Misalnya dia menjadi kepala suatu departemen, kemudian departemen tersebut mengadakan suatu proyek pembangunan yang proses tendernya dimenangkan oleh pihak tertentu. Kemudian pejabat ini akan mendapat imbalan dari pemenang proyek tesebut.
• Pembayaran yang fiktif. Kasus ini sering terjadi pada pegawai yang sering melakukan belanja untuk keperluan kantor. Caranya adalah dengan membuat laporan atau nota palsu yang menuliskan harga barang lebih mahal dari yang sebenarnya. Selisih harga barang tersebut akan masuk ke kantor pribadi.
• Menggunakan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi. Ini juga merupakan salah satu bentuk korupsi yang sering dilakukan oleh pegawai kantor maupun kepala atau pimpinannya sendiri.

Misalnya menggunakan telepon untuk menelpon orang lain yang urusannya tidak ada sama sekali dengan pekerjaan. Atau menggunakan mobil dinas untuk kepentingan sendiri, padahal bensin yang digunakan adalah milik kantor.
• Bekerja tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Ini biasanya sering disebut dengan korupsi waktu. Misalnya jam kerja kantor ditentukan mulai pukul sembilan pagi hingga empat sore. Namun yang terjadi adalah seorang pegawai atau kepala dinas datang lebih siang dan pulangnya lebih awal. Padahal masih banyak perkerjaan yang harus segera diselesaikan.
• Menyelenggarakan perjalanan dinas fiktif. Sistem operasinya adalah dengan mengajukan dana untuk melakukan perjalanan dinas ke luar kota, misalnya dengan alasan untuk study banding. Kenyataannya, dia hanya istirahat di rumah tanpa melakukan kegiatan apapun juga. Dana yang semestinya untuk perjalanan dinas dipakai untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
• Mengurangi kualitas barang yang dibeli. Misalnya seorang pegawai mendapat tugas untuk membeli sebuah komputer dengan kualitas yang tinggi, namun komputer tersebut kualitasnya biasa saja bahkan di bawah standar. Tentu saja harga komputer ini lebih murah. Sisa uang dari pembelian komputer menjadi milik pegawai tersebut.

Di luar tujuh contoh diatas, tentu masih banyak bentuk-bentuk korupsi lain, yang cara operasinya juga menggunakan modus yang berbeda. Bila hal ini tidak segera ditangani tentu akan semakin menyengsarakan negara.
Banyak sekali contoh kasus korupsi di Indonesia, sudah diberitakan di mana-mana. Bahkan kuping ini sudah kebal dan kabar burungnya terdengar lalu memantul, misalnya kasus Gayus di dewan perpajakan, sudah gaji dua belas juta sebulan, yang bagi Pegawai Negeri Sipil muda itu sungguh gaji yang sangat besar, namun ia masih korupsi.
Memang manusia itu tidak pernah puas. Bila dapat sedikit, ingin banyak. Jika dapat banyak, ingin lebih banyak lagi.
Selain kasus korupsi Gayus Tambunan, masih banyak lagi contoh-contoh kasus korupsi di Indonesia, misalnya kasus Abdullah Puteh, kasus Al Amin, kasus Artalita, kasus cicak buaya, kasus sogok-menyogok ala masuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), bahkan saat masuk sekolah atau kuliah saja juga menyogok, dan lain-lain. Sungguh ironis negeri ini, banyak sekali contoh kasus korupsi di Indonesia.

Kasus Gayus yang Maknyus
Namun, ketika ada Susno Duaji yang bintangnya bertaburan di area kepolisian tingkat tinggi itu melapor, beliau langsung ditekan sana-sini, maknyus. Beliau juga sempat dikurung ke dalam sel tahanan, maknyus! Jenderal bintang tiga! Hmm.
Jika seorang jenderal saja yang mengadu ditahan, apalagi kita yang bukan siapa-siapa, hanya rakyat biasa. Mungkin kalau berlaku seperti Susno Duaji, belum melapor kita sudah mati ditembak duluan?!

Gayus Berkeliaran
Gayus berkeliaran di Indonesia, memakai topi dan rambut palsu. Gayus memang keren juga. Ada apa dengan kepolisian?! Silakan buat penelitian sendiri. Kan lumayan untuk sidang skripsi. Tesis sekalian!

Kisah Penilangan Polisi
Semua orang butuh uang, namun ada jalan yang dihalalkan dan juga ada jalan yang terbelokkan dari fitrah kita sebagai manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Polisi yang mencari uang dengan tingkah buruk, maka keburukannya itu untuk dirinya sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum. Kasus penilangan hanya kasus untuk mendapatkan uang bagi polisi kebanyakan. Tentu saja semoga itu hanya sedikit, namun kenyataannya berbalik.

Kisah Bank Century
Bank Century tak tahu arah ke mana lagi akan berjalan. Sejalannya waktu, bank century hanya menjadi saksi atas nafsu brutal manusia yang mengahambakan uang. Inilah salah satu contoh kasus korupsi di Indonesia yang sulit dipecahkan.




Macam-macam Solusi Korupsi

Korupsi, Penggadai Harga Diri
Bagi Anda para peminat tayangan film layar lebar tentu saja tak asing lagi dengan sebuah film tema kritik sosial garapan artis senior Dedi Mizwar berjudul ‘Alangkah Lucunya Negeri ini’. Film yang dipenuhi adegan-adegan komedi ini merupakan bentuk kritikan harus yang disampaikan putera puteri bangsa terhadap budaya klasik yang memalukan harga diri bangsa, yakni korupsi.
Solusi korupsi di Indonesia kerap diamputasi dengan ringkihnya sistem penegakan hukum dan peradilan Indonesia sendiri. Korupsi seolah dipandang sebagai warisan budaya nenek moyang yang harus tetap dilestarikan, susah diberantas. Orang yang berupaya memberantas dan coba untuk bersih dari korupsi malah tak jarang difitnah dan dituding sebagai sosok sok suci.
Solusi korupsi perlu ditemukan dan dilaksanakan. Salah satu penggadai harkat martabat harga diri bangsa Indonesia adalah budaya korupsi yang sudah cukup akut menjangkiti sistem birokrasi dalam negeri. Ada banyak bentuk korupsi yang terjadi di tengah masyarakat. Dari yang level kecil hingga bernilai milyaran rupiah. Korupsi merupakan bentuk penyalah gunaan fungsi pendidikan yang sudah dijalani oleh seseorang.
Sebagai contoh, seorang yang berpendidikan rendah bisa saja melakukan korupsi kecil-kecilan seperti mencopet, menjambret dan sebagainya. Sementara mereka orang yang berpendidikan akan melakukan korupsi, sebuah tindakan yang jauh lebih hina dan berbahaya dari mencopet atau mencuri.
Korupsi dan Solusinya
Ada beberapa bentuk tawaran solusi korupsi yang cukup realistis untuk dilaksanakan. Korupsi bisa dikatakan sebagai biang keladi keterpurukan sistem perekonomian Indonesia. Betapa tidak, ratusan milyar uang negara dicuri dan dimasukkan ke kantong-kantong para koruptor. Berikut ini beberapa bentuk solusi korupsi yang memungkinkan untuk dilaksanakan;
1. Memulai dari diri sendiri

Sebelum jauh-jauh menuding orang melakukan tindakan korupsi, marilah kita memeriksa kebersihan diri kita sendiri dari perbuatan keji ini. Ada banyak bentuk korupsi yang terkadang tanpa sengaja kita lakukan. Jika kita seorang pengajar, terkadang kita berupaya mengkorupsi waktu belajar mengajar di kelas, kita memberikan jawaban soal ujian terhadap siswa, membiarkan siswa mencontek dan sebagainya.

Sebagai pendidik kita menjadi contoh teladan bagi para peserta didik. Jika bentuk-bentuk korupsi kecil itu dibiarkan, maka jangan heran jika generasi Indonesia yang akan datang juga akan tetap mengidap penyakit korupsi sebagai tularan dari sikap kita sendiri.
2. Pemimpin memberi contoh

Kewajiban seorang pemimpin adalah memberi suri tauladan kebaikan bagi orang yang dipimpin. Seorang pemimpin harus berupaya memikirkan solusi korupsi yang sudah menjadi tradisi klasik di tanah air. Pemimpin harus memberikan contoh bersih diri dari perbuatan-perbuatan korupsi. Contoh ini otomatis akan memberikan kekuatan bagi seorang pemimpin untuk mampu menegakkan hukuman bagi para pelaku korupsi secara tegas.

Selain itu, contoh ini sekaligus akan membuat para pejabat yang berada di bawah perintah seorang pemimpin merasa segan, malu, dan akhirnya juga berupaya untuk meninggalkan budaya korupsi.
3. Penegakan hukum

Para koruptor perlu diberi hukuman yang seberat-beratnya yang membuat mereka jera. Sistem penegakan hukum di Indonesia kerap terhambat dengan sikap para penegak hukum itu sendiri yang tidak serius menegakkan hukum dan undang-undang.

Para pelaku hukum malah memanfaatkan hukum itu sendiri untuk mencari keuntungan pribadi, ujungnya juga pada tindakan korupsi. Alih-alih muncullah istilah mavia hukum, yakni mereka yang diharapkan mampu menegakkan hukum dan peradilan malah sebaliknya mencari hidup dari hukum dan peradilan tersebut.


Buruknya Akibat Korupsi

Oleh: AnneAhira.com Content Team



Fakta yang terjadi akibat korupsi sungguh menyedihkan. Korupsi siapa sih yang tak kenal kata ini? Bahkan yang paling memalukan adalah bila korupsi disangkut pautkan dengan nama bangsa Indonesia. Yang hingga kini belum bisa tuntas mengatasi korupsi.
Ada aneka bentuk korupsi yang paling umum terjadi, antara lain :
• Kecurangan, penggelapan, penipuan, pemerasan
Korupsi jenis ini cenderung bersifat individu. Biasanya mereka yang berkesempatan melakukan hal ini adalah seorang pimpinan dari suatu lembaga atau instansi atau perusahaan yang dipimpinnya.

Bentuknya antara lain dengan menggunakan fasilitas kantor atau lembaga yang dipimpinnya untuk keperluan pribadi dan memperkaya diri sendiri. Seperti menggunakan mobil kantor untuk keperluan pribadi, memakai telepon kantor untuk urusan keluarga, dll. Atau melakukan mark up anggaran kantor atau melebihkannya sehingga sisa kelebihan itu bisa dikantongi sendiri.
• Nepotisme, kolusi, kroni
Ini adalah jenis-jenis korupsi yang banyak terdapat di negara sedang berkembang mau pun yang belum berkembang.
• Sogok atau suap
Penyogokan atau penyuapan, adalah yang paling umum terjadi di masyarakat. sehingga hampir sulit dibedakan dengan korupsi. Penyuapan biasanya dilakukan dengan uang atau barang. Antara lain berbentuk hadiah seperti parcel, voucher, barang-barang mewah, beasiswa, dan lain-lain.

Sehingga bentuk penyuapan ini bisa lebih tersamar dan sulit untuk dikenali. Bahkan hampir dianggap hal yang biasa karena demikian luasnya ruang lingkup suap di dalam lini kehidupan masyarakat.

Sebab Orang Melakukan Korupsi
Karena koruptor tidak dilahirkan dari rahim ibunya tetapi muncul kemudian, maka ada sebab-sebab tertentu yang membuat orang melakukan tindakan korupsi, yaitu:
• Adanya nafsu atau ingin bisa hidup enak dan bermewah-mewahan
• Lemahnya peraturan yang ada sehingga dengan mudah bisa disiasati oleh para koruptor
• Kurang memiliki pemahaman terhadap nilai moral dan agama
• Lemahnya kontrol sosial dan budaya terhadap para koruptor. Misalnya maling ayam lebih cepat dihajar dan dihukum daripada koruptor yang berpenampilan mentereng.
• Memiliki kekuasaan politik
• Birokrasi yang panjang dan berliku
• Gaji yang tidak memadai

Akibat Korupsi
• Sangat berbahaya bagi segala aspek kehidupan manusia. Baik dari segi politik,sosial, budaya, ekonomi dan birokrasi
• Korupsi akan memunculkan rasa individualis yang tinggi, egoisme dan tiadanya ketulusan dalam suatu hubungan atau relasi.
• Korupsi menimbulkan perbedaan yang sangat menyolok antara si kaya dan si miskin
• Korupsi sangat berbahaya bagi standar moral di dalam masyarakat, saat mereka menganggap korupsi adalah suatu hal yang biasa. Terutama bagi pemahaman generasi muda.

Begitu besarnya bahaya korupsi bagi kehidupan manusia, sehingga semua orang harus ikut berperan aktif dalam memberantasnya. Pemerintah juga diharuskan tegas dalam menindak kasus korupsi dan menghukum para koruptor. Serta memberikan gaji yang layak buat para pegawai negeri sipil sehingga bisa meminimalisir terjadinya korupsi.
Demikian juga dengan para pembuat peraturan perundang-undangan di dalam gedung DPR/MPR. Inilah saatnya untuk membuat undang-undang antikorupsi yang efektif dan tepat sasaran.
Demikian pula dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama, juga harus proaktif mengingatkan masyarakat tentang bahaya korupsi bagi masa depan bangsa. Juga media yang bisa ikut berperan dengan cara membentuk opini agar publik terpanggil untuk memerangi korupsi.
Dengan adanya sinergi dan komitmen yang solid dari setiap lapisan masyarakat, bukannya tidak mungkin negara ini akan bebas dari belitan korupsi. Sehingga Indonesia di masa depan akan terhindar dari kerusakan parah akibat korupsi.


Penyebab Kasus-kasus Korupsi di Indonesia

Oleh: AnneAhira.com Content Team


Korupsi di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang cukup terkenal dengan budaya korupsi masyarakatnya. Sebagai anak negeri yang peduli dengan kondisi bangsa, fakta ini tentulah dirasakan sebagai hal menyedihkan yang dapat mencoreng nama, harkat dan martabat Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia.
Negara besar dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, sekaligus negara yang memiliki tingkat prestasi korupsi yang mencengangkan. Izzah atau harga diri Indonesia di mata dunia internasional, kerap direndahkan hanya karena budaya korupsi yang sudah cukup akut menjangkiti sistem birokrasi pemerintahan Indonesia. Berbagai kasus-kasus korupsi setiap harinya muncul di layar kaca sebagai top news. Namun sayangnya, tak satu pun penyelesaian hukum yang diberikan pada koruptor-koruptor tersebut memberi keadilan bagi masyarakat.
Kebanyakan kasus-kasus korupsi di Indonesia terhenti di pembaringan rumah sakit, pengeluaran SP3 dan kalau pun dijatuhi hukuman, sangat tidak memberi keadilan terhadap masyarakat miskin. Selain sebagai penggadai harga diri bangsa, budaya korupsi yang sudah cukup mengakar di sistem birokrasi pemerintahan Indonesia juga menjadi biang kebobrokan ekonomi nasional.
Indonesia menjadi miskin bukan karena Indonesia tidak memiliki berbagai potensi sumber daya yang bisa dikelola, kemiskinan tersebut tak lain disebabkan kebiasaan para pengelola negeri ini mengambil uang yang bukan menjadi haknya. Korupsi merajalela dalam berbagai aspek dan dimensi kehidupan sosial. Yang menjadi korban tentu saja rakyat kecil yang harus hidup menderita.
Penyebab Korupsi
Ada banyak hal yang menyebabkan kasus-kasus korupsi itu muncul di pikiran para pejabat sebuah negeri. Bukan hanya orang miskin yang mau melakukan korupsi, bahkan orang yang sudah kaya raya pun tetap gemar melakukan korupsi. Tentunya dengan jumlah dan porsi yang lebih besar dibandingkan orang miskin. Berikut ini hal-hal mendasar yang bisa memicu seseorang untuk melakukan kasus-kasus korupsi;
• Persoalan mental
Ada orang yang sudah kaya raya, sudah memiliki kekayaan yang cukup untuk menghidupi keluarganya selama tujuh turunan, tapi ternyata orang tersebut ketahuan melakukan korupsi dengan jumlah ratusan juta hingga milyaran rupiah. Yang jelas menjadi persoalan di sini adalah mental. Mental orang tersebut bisa dikatakan sebagai mental koruptor.
Berbicara tentang mental tentu saja erat kaitannya dengan hal yang menyangkut keimanan dan kepercayaan seseorang terhadap agamanya. Bagi seorang muslim yang masih tetap melakukan kasus-kasus korupsi, bisa dipastikan bahwa ia miskin iman.
Keimanan itu hanya Allah dan orang yang bersangkutan yang mengetahuinya. Adapun sikap yang ditunjukkan oleh seseorang terhadap sesama manusia, boleh jadi merupakan tipuan. Jadi tak perlu terkejut jika kita melihat sosok yang selama ini kita anggap sebagai seorang figur yang baik soal keimanannya, tiba-tiba melakukan korupsi. Sebab, manusia merupakan tempat salah dan lupa, bukan malaikat yang senantiasa sempurna.
• Kurang kesejahteraan hidup
Seseorang miskin yang diangkat dan diberi jabatan, terlebih jika ia tidak memiliki mental keimanan yang baik, maka akan lebih memungkinkan ia melakukan kasus-kasus korupsi. Dorongan kebutuhan keluarga yang terus meningkat akan memicu para pejabat untuk mulai melirik uang-uang yang bukan menjadi haknya.
Terlebih, jika memang jabatan yang ia peroleh tersebut berasal dari kasus korupsi serupa. Ada orang yang akan masuk kerja rela dengan membayar dengan sejumlah uang ratusan juta rupiah. Secara logika, tentu saja ia akan berupaya untuk mengembalikan uang yang menjadi modal awal ia masuk. Dan pengembalian modal yang cepat tak lain melalui cara korupsi.
• Kondisi lingkungan
Lingkungan yang sangat subur dengan budaya korupsi biasanya akan memancing orang yang masih ragu-ragu untuk melakukan korupsi. Banyak orang yang tadinya tak pandai dan tak mau melakukan korupsi, setelah berkenalan dan berada di lingkungan yang suka berkorupsi, ternyata akhirnya juga turut serta melakukan korupsi.


Berita tentang Korupsi

Oleh: AnneAhira.com Content Team
Berita tentang korupsi memang tidak akan pernah habis dibahas. Berita tentang korupsi di Indonesia sudah menjadi buah bibir yang membosankan, telah menjadi rahasia umum, sudah menjamur subur hampir di segala area. Mulai dari area seratus perak hingga area miliaran rupiah.

Berita tentang korupsi tentu saja sudah ada di mana-mana, di seluruh pelosok provinsi di Indonesia ini. Dari kasus suap, uang tutup mulut, menyogok seseorang untuk menjadi saksi palsu, menyogok dosen agar diberikan nilai yang tinggi, menyogok rakyat agar dipilih menjadi bupati, walikota atau gubernur, dan sebagainya. Begitulah dunia zaman sekarang.

Sebagai contoh berita tentang korupsi yang terjadi di Bengkulu juga tidak lepas dengan hal-hal tersebut. Berita yang sangat membuat kita muak dan mengucapkan sumpah serapah satu sama lain. Sepanjang tahun, berita yang tetap hangat di Bengkulu adalah berita tentang penyogokan tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Sekali lagi, itu sudah menjadi rahasia umum kita semua.

Korupsi di Bengkulu itu sepertinya lebih bergantung pada pemimpinnya. Jika pemimpinnya amanah, tidak korupsi dana anggaran, maka sepertinya kota Bengkulu tersebut telah lebih maju dari perkembangannya saat ini.

Apakah semua kejadian memiliki hikmah? Walaupun tindakan korupsi itu memiliki hikmah, tetap saja korupsi haram dilakukan. Namun, halal bagi jilatan api neraka kelak di yaumul akhir.

Misalnya, hikmah kasus korupsi di provinsi Bengkulu, yaitu perkembangan pembangunan kotanya menjadi terhambat. Jika pembangunan terhambat, otomatis provinsi tersebut akan lebih jauh dari hedonisme yang berefek negatif. Pembangunan kota yang masih setengah jalan, atau mungkin belum sampai setengahnya, sudah memprihatinkan.

Banyak sekali anak-anak muda yang terjebak dalam kemilau dunia, seperti kebiasaan clubbing di club malam, berjudi, "mojok" berpacaran di bangku-bangku tempat wisata, dan lain-lain. Kasus seks para pelajarnya pun telah diteliti, yang menunjukan hasil bahwa pelajar-pelajar di kota ini telah melakukan hubungan seksual sekitar 30 %. Naudzubillah.
Berita tentang korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan atau oleh siapa saja, cenderung berdampak pada kehidupan sosial bagi pelaku ataupun keluarganya. Pemberitaan yang dilakukan membuat bukan saja pelaku, tetapi juga seluruh saudara dan juga kerabat akan menanggung malu yang besar.
Pada akhirnya berita tentang korupsi ini, diharapkan mampu menjadi pagar dan batasan bagi pelaku tindak korupsi. Sehingga mereka akan berfikir ulang sebelum melakukannya.

Hukuman Mati Bagi Pelaku Korupsi?

Oleh: AnneAhira.com Content Team

Korupsi, kolusi, nepotisme dan budaya suap di Indonesia sudah semakin parah dan memilukan dibanding Negara-negara tetangga. Bahkan dalam kasus korupsi Indonesia selalu menempati peringkat yang memalukan.
Seperti data Corruption Perception Indeks (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi yang dilansir oleh 10 organisasi internasional, pada tahun 2010, Indonesia berada di urutan 110 dengan nilai 2,8. Padahal Negara tetangganya, Singapura bertengger di peringkat 1 dengan nilai hampir mendekati 10 yakni, 9,3. Brunei 5,5 dan Malaysia 4,4 serta Thailand 3,5.

Hukuman Mati Koruptor
Dalam menangani maraknya kasus korupsi Indonesia perlu menerapkan hukuman mati. Menurut Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, hakim tak perlu takut untuk menjatuhkan hukuman mati bagi terpidana korupsi, karena hal itu sudah diatur dalam Undang-undang.
Seperti yang termaktub dalam Undang-Undang No. 31/1999 yang kemudian diperbaharui dengan munculnya UU no. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, koruptor bisa dihukum mati ketika korupsi dilakukan dalam keadaan Negara yang sedang mengalami bencana alam atau dilanda krisis. Meskipun pada prakteknya, hingga saat ini belum ada keberanian hakim yang memvonis koruptor dengan hukuman mati.

Belajar dari China dan Lativia
Sedangkan menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, dalam menangani akutnya kasus korupsi Indonesia perlu belajar dari Negara lain seperti China dan Lativa. Kedua Negara ini dinilai berani dalam melakukan revolusi guna menumpas kejahatan korupsi di negaranya masing-masing.
China menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor dengan memberlakukan kebijakan pemutihan sebelumnya. Dengan kata lain, semua pejabat China yang pernah melakukan korupsi sebelum tahun 1998 dianggap bersih dan diputihkan.
Akan tetapi begitu korupsi terjadi satu hari saja setelah pemutihan diberlakukan, pelakunya langsung dijatuhi hukuman mati. Praktis, hingga tahun 2007 saja, sudah 4.800 orang pejabat China yang terkena hukuman mati. Kini China termasuk Negara yang bersih dari korupsi.
Sedangkan Latvia menerapkan kebijakan Lustrasi dengan mengeluarkan Undang-undang Pemotongan Generasi. Melalui pemberlakukan Undang-undang Lustrasi Nasional inilah seluruh pejabat eselon II diberhentikan dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 juga dilarang untuk aktif kembali.
Dengan adanya kebijakan Lustrasi, Latvia yang sebelum tahun 1998 dikenal sebagai Negara yang korup, kini menjadi Negara yang bersih juga dari praktek korupsi.

Perlu terobosan
Belajar dari pengalaman dua Negara di atas, perlukah Indonesia menerapkan kebijakan sejenis untuk memberantas korupsi yang semakin hari semakin merajalela menggerogoti tubuh Republik ini.
Meskipun upaya tersebut akan menemui jalan buntu ketika dibenturkan pada problem Hak Asasi Manusia (HAM) dan tentunya kendala politis yang sering dihadapi.
Betapa pun rumitnya persoalan, yang pasti Indonesia perlu terobosan-terobosan baru agar hukum memberikan efek jera bagi siapapun yang berniat melakukan korupsi di negeri ini, termasuk hukum potong tangan jika diperlukan!


Korupsi Yang Membuat Generasi Bangsa Frustasi

Oleh: AnneAhira.com Content Team
Artikel tentang korupsi hampir setiap hari dapat Anda baca dari berbagai media yang terbit. Artikel yang menyorot perilaku pejabat daerah sampai pusat yang menyalahgunakan wewenangnya dengan tujuan memperkaya diri sendiri sangat mudah Anda temukan.
Sepertinya korupsi dikalangan pejabat adalah hal yang wajar dan biasa. Mereka tahu hal apa yang akan diterima sebagai konsekuensi korupsi. Yang terjadi malah pejabat seakan berlomba melakukan tindak korupsi.
Korupsi
Artikel tentang korupsi ini memaparkan secara jelas bahwa korupsi adalah suatu penyalahgunaan wewenang atau jabatan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi juga bisa diartikan sebagai tindakan menyelewengkan uang rakyat atau negara. Perilaku korupsi yang dilakukan pejabat ini sangat meresahkan dan merugikan rakyat.
Tingkat korupsi sangat tinggi terjadi di Indonesia, hal ini disebabkan karena masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Sanksi hukum yang diberikan pada pelaku korupsi masih terlalu ringan sehingga tidak segan pada pejabat yang lainnya untuk meniru perilaku korupsi.
Dampak Korupsi
Banyaknya berita dan artikel tentang korupsi yang Anda ikuti dari berbagai media bukan tanpa makna. Makna dari berita korupsi tersebut adalah penderitaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
• Gara-gara korupsi pembangunan banyak terhambat.
• Sarana parsarana yang merupakan fasilitas rakyat yang penting tidak dapat dinikmati bahkan belum dapat diwujudkan dengan baik.
• Kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak rakyat belum dapat diwujudkan sampai dengan saat ini. Kemiskinan masih akrab dengan sebagian rakyat Indonesia.
• Pendidikan belum bisa dinikmati secara merata oleh anak Indonesia. Akses kesehatan murah dan berkualitas belum dapat menjangkau seluruh rakyat.
Secara umum korupsi benar-benar melumpuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia .
Korupsi Mencederai Hati Rakyat
Korupsi besar-besaran yang dilakukan para pejabat negara, atau mereka yang mendapat amanah menjadi pemimpin di Indonesia, sepertinya benar-benar sulit di hilangkan. Bagaimana tidak, ketika era pemerintahan orde baru, faktor utama yang mendorong terjadinya reformasi adalah KKN ( korupsi,Kolusi dan nepotisme).
Saat ini sudah sekian tahun masa reformasi berjalan, namun tanda-tanda perilaku buruk yang terjadi di masa orde baru yaitu KKN belum berkurang. Korupsi masih tinggi terjadi meskipun upaya pemberantasan korupsi juga sudah dilakukan.
Disisi lain penegakan hukum masih lemah, serta masih banyaknya oknum aparat penegak hukum dan oknum di kepolisian yang tega bermain-main, dengan memperjual belikan hukum yang secara jelas ini mencederai hati rakyat.
Melihat kondisi pembangunan di Indonesia belum berjalan dengan baik ini gara-gara korupsi bisa membuat generasi bangsa frustasi. Bagaimana tidak frustasi jika semua hal macet gara-gara dikorupsi dan mereka yang korupsi ternyata tidak mendapat sanksi tegas yang sebanding dengan kesalahan yang dilakukan.
Upaya Pemberantasan Korupsi
Korupsi yang terjadi besar-besaran dan terus menerus, yang terjadi di Indonesia bukan berarti tidak dicari solusi yang paling jitu. Namun yang terjadi adalah mereka yang harusnya menjadi pemberantas korupsi ternyata juga ikut terjun menjadi koruptor.
Upaya pemberantasan korupsi juga dilakukan, salah satunya adalah mulai diberikannya pendidikan anti korupsi sejak dini yang dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Masih banyak Anda temui dalam artikel tentang korupsi, berarti masih banyak kegagalan pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah.
Kegagalan memberikan pendidikan anti korupsi dapat dilihat dari program kantin kejujuran di sekolah, yang ternyata masih belum membuahkan hasil. Kegagalan dalam pendidikan anti korupsi di Indonesia terjadi karena miskinnya keteladanan yang diberikan para pemimpin, orang tua maupun guru.